Senin, 22 Oktober 2012

POLITIK ALA KOMSYAR

 R.A.K (rapat anggota komisariat) HMI fakultas Syari`ah yang ke XXXII bertempat di kantor balai walikota blang  padang melahirkan kemelut kontraversi berkepanjangan atas hasil sidang di tubuh komsyar tersendiri.
RAK kali ini sekiranya sedikit melahirkan  kebanggaan tersendiri di umur HMI komsyar yang ke XXXII. Pasalnya selaku kader tertua yang dinisbahkan sebagai ayahanda ( Prof. Dr. H. yusni sabi M.A.P.Hd) berkenan hadir sebagai pembuka ceremony di acara yang teragendakan hari minggu pukul 09:00 wib 8/5-2011 tersebut, yah selaku kader HMI  yang notabenenya alumni fakultas syari`ah jelas memiliki appluster sendiri,
Namun pokok dari lahirnya kemelut kontraversi bukanlah hal yang diharapkan dari pihak yang mampu berfikir inklusif, namun tidak bagi mereka yang parsial. Kemelut kontraversial yang lahir dan membututi pola fikir kader KOMSYAR jelas bukan merupakan sebuah harapan. Pasalnya kedua koalisi saling mengompori dan saling mensinyalir diri bahwa calon yang  mereka dukung dipanggung demokrasi itulah yang pantas untuk dipilih setelah dipilah. Tuding menuding dan saling menjatuhkan terus mengalir deras baik air jatuh kedalam bak, baik secara konkrit maupun abstrak, namun ini menggambarkan sikap insan cita mulai memudar. Yang jelas moment ini tidak disia-siakan oleh segelintir orang untuk senjata politik yang mematikan untuk kepentingan pribadi ia kedepan.
Tipologi politik serupa sudah pernah terjadi di akhir-akhir kekuasaan Ali r.a diamana kubu Ali sebagai penguasa mendapat tuntutan atas kematian Usman, dari pihak Muawiyah. misi terhadap tuntutan tersebut berbuah mnenjadi pengkudetaan setelah hasil abritase yang di motoroi antra Abu Musa al-A`syari dari pihak Ali dan Amr Ibn Ash dari pihak Muawiyah, yang melahirkan hasil yang pahit bagi kelompok yang dirugikan. Sampai sekarang politik macam ini seperti sudah menjadi kelegalan sebagai frem politik ala KOMSYAR pada hakikatnya.
Stigama ini baiknya di sterilkan agar komsyar tidak menimbulkan deformasi yang berbuntut pada perpecahan dan kehancuran yang sifatnya permanen. Karna menimbang dan memikirkan rivalitas perpolitikan di komsyar merupakan perpolitikan dalam sebuah keluarga  yang hemat penulis masih bisa mentolerir atas kelebihan dan kekurangan bersama. Namun sangat disayangkan pandangan ini tak pernah diimplementasikan demi sebuah upaya ekpansi yang lebih baik kedepan dalam tubuh komsyar. Terlalu mersa lebih baik, adalah sikap parsial yang tak pantas dipertontonkan pada mereka yang masih terlalu dini memahami poros pola fikir perpolitikan ala komsyar yang sedikit kekanak-kanakan dalam konteks sekarang.
Berawal dari keputusa PS yang dianggap sarat dengan injustisi dan kurang tegasnya  pihak pelaksana acara yang kurang lihai dalam mengontrol keamanan, Mungkin polemic ini tidak sempat lahir di tubuh komsyar karna terlebih dahulu digugurkan dengan upaya represif. Masuknya salah seorang kader di saat suasana tegang dan suara terlihat jelas di papan score dengan hasil DRAW, harapan kemenangan tersebutpun beralih pada kader yang satu ini, entah darimana datangnya  saya selaku panitia pelaksana acara hanya melihatnya yang meminta hak suaranya selaku kader. Awalnya semua pihak tidak ada yang memprotes dengan kehadirannya, namun pucuk dicinta ulampun tiba, yang dirasakan oleh satu kubu jelas merupakan sebuah kebahagian, lantaran dengan kehadirannya membawa keuntungan sesuai harapan. Namun lain halnya dikubu oposisi seolah mengharap air hujan turun dari langit malah batu yang menimpa,  karna merasa tidak puas merekapun angkat bicara dan memprotes keputusan sidang yang dianggap tidak fair.
Perpecahanpun mulai mencapai klimaksnya, bagaimana tidak kedua kubu merasa menang sendiri dan tidak menerima kemenangan dari pihak oposisi denagan dalih PS sarat dengan injustisi dan tidak tegas. Hingga keputusan PS pun akhirnya dianulir pihak yang merasa dirugikan. Dari pihak panitia dan PS akhirnya memilih jalur musyawarah, kedua calon diminta untuk berdiskusi sejenak untuk saling menerima demi masa depan komsyar. namun yang namanya politik, mereka tidak mempertimbangkan kemashlahatan komsyar, malah lebih memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Yang endingnya koalisi dari calon yang satu tidak mengakui kemenangan pihak oposisi begitupun sebaliknya, saya ingin menganenagkan kasus ini pada masa terpilihnya Ali sebagai peganti Usman. kaum Syiah yang notabenenya dicap sebagai kelompok Ali menolak kekhalifahan sebelumnya, mereka berasumsi Ali lebih pantas dan tak hanya itu mereka juga mensinyalirkan bahwa Ali pernah mendapat wasiat dari Nabi Muhammad sebagai penerusnya. Hingga pada akhirnyakelompok ini melahirkan aliran sendiri dalam tubuh Islam yang hingga saat ini belum mendapat titik temu untuk bias disatukan lagi dngan kelompok Sunah..
Jika ini terjadi maka komsyar hanya tinggal nama dan jadi tontonan bagi rival politik dikampus dan jadi bahan tertawaan saat ngerumpi. Sekali lagi saya berasumsi kita gagal dalam belajar dari sebuah pengalaman.
Memang dari awal sebelum jatuh tempo waktu yang ditetapkan politik ala komsyar sudah mulai memantik bara perang antar oposisi. Itu nampak dilihat pada saat pendeklarasian salah satu dari calon yang di usung yang mempertemukan dua nama angkatan antara ABEUK JUAH(09) dan BURAK HITAM (10), yang melahirkan perdebatan sengit antara kedua angkatan tersebut. Pasalnya juga dilatar belakangi oleh pihak yang mengundang untuk rapat tertutup tersebut. Di undangan yang seharusnya diundang Aneuk juah malah ikut terundang Aneuk burak Hitam. Disaat menghadiri siding tertutup itu disinilah terjadi perdebatan hebat. Bahkan ada yang angkat bicara menuntut dengan dalih keadilan.  mereka diundang Via SMS kok tidak dianggap di rapat tersebut.  Apakah kami ini bukan bagian dari komsyar? Tandasnya.
 Kemelut dakwaan itupun pecah, entah siapa dibelakang ini semua wallahu`a`lam.  Yang jelas sepertinya ini sudah disusun sebelumnya sebagai bentuk ketidak senangan atas calon yang diusung. Dengan mencoreng wajahnya di depan rapat,  yang ditargetkan akan lahirnya kontrak politik untuk sebuah kemenangan tersebut. Apakah ni sengaja dilakukan atau hanya sekedar untuk mengompori suasana agar tanpak lebih yahud.  Saya sebagai kader yang ikut dalam undangan atas nama burak hitam tersebut terbilang diam dibandingkan kader-kader yang lainnya. Namun diujung acara saya mendapati si calon yang di deklarasikan mengungkapkan keluhannya pada saya atas kepicikan dalam permainan politik yang dijalankan mereka terhadapnya. Ia merasa di dzalimi dan sepertinya memang sudah direncanakan untuk membuat saya malu didepan public keluhnya.
Inilah poros politik. Tidak ada kesetiaan yang berlabuh disini, yang ada hanya sarat dengan kepentingan , rela mengunting dalam lipatan mernusuk teman sejalan, depan tersenyum manis balik belakang lain bicara. Bukanlah hal yang langka dalam politik terlebih politik ala KOMSYAR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar